Pages

Ads 468x60px

Saturday, November 20, 2010

Dia Yang Bermuka Masam (Part 3 ) ~end~


Alhamdulillah, hari yang kunantikan tiba. Kepulanganku ke tanah air tercinta. Lina, vita dan yang lainnya sudah terlebih dahulu menginjakkan kaki di nusantara. Tinggal aku. Walaupun kami lulus bersamaan, tapi aku rasa masih ada beberapa hal yang perlu kuurus disini. Namun akhirnya saat ini tiba giliranku untuk kembali bertatap muka dengan seluruh kerabat di Indonesia. Tak lupa aku membawa buah tangan untuk kubagikan kepada kerabat disana.
Dengan mengucap Bismillah, aku berangkat dari Bandara Internasional John F. Kennedy, New York menuju Bandara Soekarno-Hatta. Pikiranku sudah melayang bermil-mil jauhnya ke sebuah rumah sederhana bercat hijau kebiruan. Itulah rumahku. Seperti apa bentuknya sekarang setelah sekian lama kutinggalkan? Aku semakin tak sabar menginjakkan kaki di rumah. Semalam, ibu dan ayah menangis haru saat kukabarkan bahwa esok aku akan pulang. Aku ingin segera bertemu mereka. Memandang wajah lembut nan berhati halus itu. Aku ingin memeluk mereka. Aku ingin tenggelam dalam samudra kasih sayang mereka. Ibu, ayah... aku rindu kalian..
Dari atas langit, aku melihat lukisan Allah yang luar biasa. Pandanganku lurus kebawah menembus jendela kaca. Subhanallah... tak bisa kututupi rasa takjubku melihat kebesaran Allah. Untaian pulau-pulau hijau yang dikelilingi lautan biru sejauh mata memandang. Awan putih bagai kapas menyelimutinya laksana mantel tebal. Maha Suci Dzat yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantaranya.
Setelah beberapa lama melanglang buana di udara, akhirnya aku berhasil menginjakkan kaki di Indonesia dengan mengantongi gelar Master of Economics. Aku bertekat untuk mengamalkan ilmu yang kumiliki demi kemajuan bangsa dan negaraku. Aku langsung melakukan sujud syukur setelah aku menapakkan kakiku di tanah air.
“Shifa...” sebuah suara yang tak asing di telingaku.
“Ibu... Ayah...” aku segera berlari dan menghambur ke pelukan mereka. Tangis haru pun pecah. Tak bisa kupungkiri, merekalah orang yang sangat berarti dalam hidupku. Jasa-jasa mereka tak kan pernah bisa kubalas walaupun dengan gunung emas dan lautan permata. Kutatap wajah mereka. Wajah yang dulu kencang, kini mulai berkeriput. Rambut yang dulu hitam kini mulai memutih. Dan tubuh mereka yang dulu tegap, kini mulai membungkuk. Kutatap mata mereka yang berbinar-binar dan meneteskan air mata bahagia, air mata haru, air mata bangga karena aku telah berhasil menyelesaikan kuliahku di negeri orang dan kembali ke pangkuan mereka dengan selamat.
Ya Allah, hanya satu pintaku...
Untuk melihat mereka selalu tersenyum bahagia...
Tak kuizinkan siapapun menyakiti mereka. Bahkan seekor semutpun.
Jadikan aku anak sholehah yang senantiasa membahagiakan kedua orang tua,
Sampai akhir hayatku.
***
“Nak, tadi ibu menghadiri sebuah pengajian. Dan kau tahu, ada seorang pemuda tampan sekali, dia yang membaca ayat suci Al-Quran. Subhanallah... Suaranya benar-benar merdu. Ibu sampai merinding dibuatnya. Dan hebatnya, setelah ibu tanya, ternyata dia seorang mualaf! Tetapi pengetahuannya tentang Islam sudah sedemikian luasnya.” Celoteh ibu semangat sepulang dari pengajian.
“Oh ya? Ibu naksir sama dia ya? Hehe...” candaku.
“Eh, kamu ini.. menggoda saja. Bukan begitu, ibu dengar dia itu masih lajang. Siapa tahu berjodoh denganmu. Dia itu orang asing, kalau tidak salah dia berasal dari Amerika. Kau kan juga pernah kuliah disana.  Tetapi bahasa Indonesianya fasih sekali. Padahal dia bilang baru setahun di Indonesia untuk belajar agama. Dia sangat senang tinggal disini. Tadi ibu sempat berbincang-bincang sedikit dengannya.” Aku tersentuh mendengar penjelasan ibu. Ada hawa dingin yang menyusup ke dalam relung hatiku. Rasa penasaran mendorongku untuk bertanya lebih lanjut pada ibuku.
“Siapa nama pemuda itu bu?”
“Aduh... siapa ya? Dia sudah berganti nama semenjak masuk islam. Kalau tidak salah, namanya Mohammed Yousuf.”
“Sebuah nama yang indah...” pujiku lirih.
“Besok kau harus ikut ibu ke pengajian itu lagi. Ibu ingin mengenalkan kau padanya. Siapa tahu berjodoh. Ibu akan menjadi ibu mertua yang paling bahagia di dunia jika memiliki menantu se-shaleh dia.”
“Jika memang menurut ibu dia yang terbaik, aku akan menuruti kehendak ibu.” Jawabku sambil tersenyum. Aku sangat ingin membahagiakan ibuku.
***
Bismillahirrahmanirrahiim...
Ar Rahmaan.
‘Allamal Qur’aan.  Kholaqol insaan. ‘Allamahul bayaan...

Subhanallah... benar-benar indah suaranya. Lirihku dalam hati begitu mendengar lantunan surah Ar-Rahman yang dibacakan pemuda itu. Aku memang belum melihat wajahnya, tapi hanya dengan mendengar suaranya aku merasa bahwa dia adalah seorang muslim yang taat. Ada selaksa harapan  yang datang tanpa kuundang. Entah kenapa aku berharap dia benar-benar akan menjadi imamku kelak. Rabbana hablana min azwajina, wa dzuriyyatina qurata a’yun. Aku menundukkan pandanganku. Ayat-ayat suci Al-Qur’an seakan merasuk ke dalam pori-pori jiwaku. Mataku basah. Pemuda itu membaca Al Quran dengan begitu fasihnya. Sulit dipercaya kalau dia adalah seorang mualaf.
Selesai Al-Quran dibacakan aku kembali mendongakkan kepala. Mataku menangkap sosok pemuda yang kini berada di depan mimbar. Seorang pria berambut pirang dan bermata biru mengenakan gamis putih bersih lengkap dengan kopiah.  Masya Allah...!
Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kulihat. Apa aku salah lihat? Pemuda itu... Dia... Orang yang pernah mengajakku ke pesta. Orang yang dulu sering bertanya tentang islam kepadaku. Dia... Richard Brandon! Teman sekampusku dulu! Bagaimana mungkin?! Kenapa dia bisa disini?
Seketika itu, keringat dinginku mengalir. Aku benar-benar merasa kecil. Allah menampakkan kekuasaannya padaku yang telah berlaku sombong dan bermuka masam. Richard yang buta sama sekali tentang agama berubah drastis menjadi seorang yang shaleh dan taat seperti itu.  Allahu Akbar... Astagfirullahal’adzim... Aku benar-benar bodoh. Apa yang harus kukatakan pada ibu yang telah berharap banyak? Terlebih, apa yang harus kukatakan di hadapan Richard, maksudku.. Yousuf nanti? Mungkin dia tak akan sudi bertemu denganku apalagi bicara padaku karena aku telah mengacuhkannya dulu saat ia bertanya tentang Islam. Tanpa sadar hatiku mengucap sebuah doa,
‘Ya Allah... Engkau adalah Tuhanku. Tiada Tuhan selain Engkau. Aku berlindung dari buruk yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu. Aku mengakui dosaku. Ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.’
Selesai acara, ibu mengajakku bertemu dengannya. Aku ragu untuk menerimanya tapi juga tak sanggup untuk menolak. Aku tak mau membuat ibuku kecewa. Baiklah, kuputuskan untuk berani mengambil resiko. Aku pasrah meski harus mendapat makian darinya. Bismillah...
“Nak Yousuf, kenalkan ini putri ibu yang ibu ceritakan kemarin. Shifa Az-Zahra. Panggil saja Shifa.” Ujar ibu lembut dan polos. Aku menunduk. Tak sedikitpun aku berani menatapnya. Ya Allah... tolong hamba...
“Assalamu’alaikum,” sapanya lembut seraya mengucap salam. Aku ragu untuk menjawab.
“Wa... wa’alaikum..salam...” jawabku gugup. Aku tak berani mendongakkan wajah sedikitpun.
“Sepertinya kita sudah saling kenal sebelumnya.” Ujarnya penuh selidik.
“Mm... Mungkin...” aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala walaupun sebentar.
“Tidak salah lagi. Kaulah orangnya. Kau Shifa yang dulu...”
“Ya, aku. Maafkan aku karena dulu...”potongku.
“Sudahlah, tak usah dipikirkan. Yang terpenting, Alhamdulillah, aku telah menjadi seorang muslim sekarang,” sahutnya ramah. Aku benar-benar bahagia mendengar perkataannya. Semakin bertambah kekagumanku dengan pria dihadapanku ini. Dalam  hati aku berdoa agar dia benar-benar jodohku.
“Jadi kalian sudah saling kenal sebelumnya?” tanya ibuku.
“Ya bu. Kami dulu belajar di kampus yang sama. Bahkan dulu saya juga sempat jatuh hati dengannya.” Sahut Yousuf.
Masha Allah... Kebetulan sekali. Apa ini tanda-tanda berjodoh ya?” sambung ibu riang. Ibu memang terkadang ceplas-ceplos. Hatiku melayang sesaat. Entah kenapa harapan itu makin kuat. Ya Allah... semoga dia memang...
“Tapi maaf bu. Saya sudah punya calon yang akan saya pinang dalam waktu dekat ini.” Ujar Yousuf lagi. Aku tersentak. Begitu juga ibu. Aku seakan dijatuhkan dari atas gedung lantai 100. Tetapi ibu tetap tenang dan dapat menguasai diri.
“Benarkah? Oh, tidak apa-apa, berarti memang belum jodohnya. Kalau boleh tahu siapa gadis yang beruntung itu, nak?” tanya ibu lembut.
“Namanya Lina Maryam Handayani. Dia orang Indonesia juga dan sempat kuliah di New York. Semenjak saya tertarik dengan Islam, saya terus mencari tahu tentang Islam, namun tak ada seorangpun yang membantu saya dan mengajari saya tentang Islam. Kecuali dia. Dan saya kesinipun berkat saran darinya. Saya mengenyam pendidikan di pesantren selama setahun. Karena saya benar-benar ingin mendalami Islam. Dia yang selalu mendukung saya dan diam-diam saya pun menaruh hati padanya. Dia benar-benar wanita shalehah. Rencananya saya akan melamarnya Jum’at ini.” Aku bagaikan disambar petir ketika mendengar penjelasan Richard.
“Lina Maryam Handayani?” tanyaku tak percaya.
“Ya.” Jawabnya singkat.
Allahu Akbar... Lina? Sahabatku? Ini benar-benar sulit dipercaya! Tiba-tiba aku merasa dunia ini menjadi gelap. Karena aku menyepelekan dan bermuka masam di hadapannya, aku benar-benar kehilangan suatu peluang emas untuk berdakwah dan memiliki suami yang shaleh. Astagfirullah... Ya Allah... Ampuni hamba yang lemah ini...
Menyesal. Kata ini memang selalu datang belakangan. Andai saja waktu dapat kuputar kembali... Tapi tak ada gunanya. Aku harus ikhlas menerima kenyataan pahit ini. Aku harus tetap bangkit. Aku yakin Allah Yang Maha Mengetahui telah mempersiapkan seorang imam yang terbaik untukku, Insya Allah... Hanya masalah waktu.
Setidaknya aku dapat memetik hikmah dari pengalamanku ini. Jika engkau pernah melakukan kesalahan, belajarlah dari kesalahan itu, kemudian tinggalkanlah kesalahan itu setelah engkau mengambil pelajaran darinya.
   

Finished in Depok, November 11th 2010
9.47 pm :)

Dia Yang Bermuka Masam (Part 2)


Shifa, wait!” panggil Richard sepulang kuliah. Aku menghentikan langkahku. Mau apa lagi dia?
Hey, come on. Please go to the party with me. I’ll pick you up later, ok?
“Maaf, aku benar-benar tak bisa.” Jawabku singkat sambil menunduk. Aku langsung memutar badan. Richard menghadangku lagi.
“Bisakah kau memikirkannya lagi?”
“Maaf,” ucapku lirih.
“Shifa.. please!” ujarnya sambil mencoba meraih tanganku.
“Hey! Aku bukan seperti wanita-wanita lain yang kau pikirkan. Tidak ada yang boleh menyentuhku kecuali mahram-ku.” teriakku spontan.
Mahram? What is it? Bisakah kau menjelaskannya padaku tentang hal itu?” Aku diam. Susah menjelaskan hal ini bagi orang  seperti Richard.
“Kau tahu, sebenarnya aku menyukaimu. Kau berbeda dari wanita-wanita lain yang dengan gampangnya menerima tawaranku. Kau selalu menundukkan pandanganmu dan melindungi dirimu dengan tutup kepala itu. Kau juga selalu menjaga prilakumu. Kau adalah satu-satunya wanita yang membuatku kagum.” Lanjutnya menjelaskan.
“Aku hanya mengikuti perintah Tuhanku. Aku hanya berprilaku sesuai dengan apa yang diajarkan agamaku.” Jawabku singkat.
“Agama? Apakah hal itu penting?”
“Menurutmu agama itu tak penting?”
“Ya. Aku pikir agama itu sama sekali tak ada gunanya.” Keterlaluan.
“Maaf aku harus pergi.” Sahutku.
“Shifa, apa kau menolakku karena aku tak percaya dengan agama?”
Aku tak menghiraukan pertanyaannya.
“Aku bisa masuk agama apapun asal kau mau menerimaku. Itu perkara sepele.”
Ini benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Aku  tak habis pikir kenapa orang seperti dia menyukaiku. Padahal apa yang menarik dari diriku? Aku curiga dia mengidap rabun dekat. Aku mengambil langkah seribu meninggalkannya. Mulai sekarang aku harus menjauhinya. Ya. Aku harus berhati-hati padanya. Aku harus membangun pagar beton yang lebih kokoh agar aku terlindung darinya.
***
 Richard Brandon. Dari hari ke hari prilakunya makin aneh. Dia sering mendekatiku dan bertanya-tanya tentang Islam. Tapi aku sudah tahu, pasti ini hanyalah akal-akalannya saja agar dapat menarik simpatiku. Gosip tentang Richard yang mengejarku-pun sudah tersebar ke hapir seantero kampus. Aku tak akan goyah dan bergeming dengan siasat bulusnya. Aku selalu menghindar dan menunjukkan wajah tidak berkenan setiap kali dia datang padaku. Itu semua kulakukan agar dia tahu bahwa aku tak sedikitpun terpengaruh dengan tipu dayanya.
Hari inipun demikian, untuk kesekian kalinya dia menghampiriku diriku yang sedang berkutat dengan buku Ekonomi-ku. Dengan wajah serius dan  innocent. Dia bertanya-tanya tentang Islam.
“Shifa, could you please tell me more about Islam?”
“Kenapa kau ingin tahu? Bukankah kau mengatakan bahwa sesungguhnya agama bukanlah hal yang penting?” kataku sambil meneruskan membaca.
I don’t know. Aku sangat tertarik mempelajarinya sekarang.”
“Really?” sahutku tak bersemangat. Aku tahu dia hanya berpura-pura.
“Shifa, I’m serious.”
 “Well, good luck then.” Sambungku acuh sambil meninggalkannya. Aku tak kan begitu mudah mempercayainya. Mana mungkin sifat atheisnya dapat hilang begitu saja. Aku takut dia begitu karena hanya ingin mendapatkanku. Bagaimana dia bisa menjadi imam yang baik untukku dan keluargaku kelak? Aku sangat memimpikan mendapat pendamping hidup yang shaleh dan taat. Bukan orang yang menjadikan agama seperti permainan.
Tak disangka, itulah terakhir kali aku melihatnya. Setelah itu dia tak pernah muncul lagi di hadapanku untuk bertanya-tanya tentang islam. Entah kemana perginya. Baguslah, setidaknya aku tidak lagi terganggu olehnya.
***
Sepulang kuliah ini, seperti biasa aku menyempatkan diri untuk pergi ke masjid. Untuk berkumpul bersama sister in Islam, dan mengkaji lebih dalam mengenai islam. Tak jarang aku mengajak teman-teman satu flat setanah airku, Lina, Vita dan yang lain. Diantara mereka, hanya aku dan Lina yang mengenakan hijab. Lina adalah sahabat baikku. Kami sudah saling mengenakl sejak SMA. Tetapi mereka cenderung terlalu sibuk. Jadi terkadang aku harus kesana sendiri. Hari ini masjid Al-Ehsan, mendatangkan seorang ulama dari Mesir. Ulama itu membahas tentang tafsir surah ‘Abasa. Surah ‘Abasa adalah surah ke-80 yang termasuk surah Makiyah.
“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling. Karena seorang buta telah datang kepadanya. Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali ia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia ingin mendapatkan pengajaran yang memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadannya. Padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri. Dan adapun orang-orang yang bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang dia takut kepada Allah, engkau malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan begitu!...”
Aku terhenyak begitu ayat tersebut dibacakan. Ayat itu seakan langsung menghujam lubuk hatiku. Bagaikan sindiran tajam dan keras. Tak ayal air mataku mengalir dengan derasnya. Ulama tersebut menjelaskan bahwa surah itu turun sebagai peringatan dari Allah bagi Nabi Muhammad SAW.  Ketika itu ada seorang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum datang kepada Rasulullah SAW dengan harapan mendapatkan pengajaran dari beliau tentang Islam. Tetapi karena Rasulullah sedang sibuk dengan urusannya dengan para pembesar Quraisy, beliau berpaling dan bermuka masam. Maka turunlah ayat tersebut sebagai peringatan langsung dari Allah SWT terhadap dirinya.
Astagfirullah...
Betapa jahatnya diriku. Ada seseorang yang bertanya padaku tentang Islam aku malah mengabaikannya. Barangkali Richard benar-benar ingin mengetahui tentang Islam. Bukankah itu bagian dari da’wah? Bukankah kita dilarang menyembunyikan satu ayatpun? Sekarang aku merasa menjadi manusia paling hina sedunia. Apa yang harus aku katakan di hadapan-Nya kelak? Astagfirullah... Ampuni hamba Ya Rab... Hamba berjanji tak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Sekarang aku benar-benar dilanda kebingungan yang amat sangat. Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki kesalahanku? Mungkin sekarang Richard sangat membenciku dan tak akan pernah sudi bertanya padaku karena aku selalu bermuka masam dan mengabaikannya. Astagfirullahal ‘adzim...
***

Dia Yang Bermuka Masam (Part 1)


By Siti Fatimah 
Shifa, where are you going?” pertanyaan Cathy, teman sekelasku, membuat diriku terhenyak.
As usual. Mosque.” Jawabku singkat sambil mengambil tas  dari dalam lokerku.
“Haha... what? Mosque? Shifa, what are you doing in that boring place? Come on, Let’s join us to the  party. It’s gonna be fun!” Janet menambahkan sambil mengerlingkan mata. Aku agak sedikit kesal dengan nada bicaranya yang seakan menghina tempat suciku.
“I’m afraid I can’t. For me, it’s more important rather than going to the party.”
“Well, it’s up to you. But, I bet you will regret. See you then.”
Aku menarik nafas panjang. Sabar. Satu kata yang harus aku tanam erat-erat di benakku. Memang sulit hidup di negara yang menganut sistem kebebasan individu yang tanpa batas. Masyarakatnya sangat mendewakan sikap hedonisme, bahkan terkadang beberapa dari mereka menganggap remeh soal agama. Sebenarnya aku agak geram dan muak melihat kenyataan ini. Aku seperti berada di zaman jahiliah versi modern. Wanita-wanita berprilaku layaknya mereka tidak ada harganya. Mereka mengenakan baju-baju ketat, bahkan tak malu memamerkan auratnya. Tak hanya wanita, pria pun demikian. Pesta, menghamburkan uang, mabuk-mabukkan, freesex dan lain-lain menjadi santapan biasa bagi mereka. Atas nama kebebasan dan demokrasi, mereka menganggap wajar hal yang demikian. Padahal, mereka adalah orang-orang cerdas dan terpelajar.
Ya, mungkin semua itu bukan sepenuhnya salah mereka. Hal itu sudah menjadi budaya turun temurun di kalangan masyarakat barat. Padahal, tidakkah mereka sadar bahwa keindahan, keanggunan, dan kecantikan seorang wanita tergantung bagaimana mereka menjaga diri mereka. Apakah mereka tidak memikirkan bahwasanya wanita yang menutup auratnya dan menjaga dirinya dari tangan-tangan jahil bagaikan sebuah mutiara berharga yang terlindung di dalam kerangnya?
Mereka bahkan terkadang memandang sebelah mata terhadap muslimah yang berhijab. Mereka pikir, hijab itu adalah sebuah oppression. Hijab membatasi kebebasan mereka. Alangkah piciknya. Padahal hijab bukan semata-mata penutup kepala. Hijab merupakan jati diri sebagai muslimah. Hijab melindungi wanita dari hal-hal yang dapat membahayakan. Most of all, hijab is showing our modesty, dignity, and integrity to God. Hijab is my freedom.
Sampai saat ini aku hanya bisa memberontak di dalam hati. Rasanya aku ingin cepat-cepat menyelesaikan study-ku disini dan kembali ke negara asalku tercinta, Indonesia. Ya Rab, berilah hamba kekuatan, ketegaran dan kesabaran agar hamba tidak terpengaruh westernisasi. Kuatkanlah iman hamba agar hamba tetap istiqamah berada di jalan-Mu yang lurus.
***
Pagi yang cerah di New York. Meski dengan udara yang agak dingin, tetapi mentari tetap menyiratkan senyum hangatnya. Padahal, perkiraan cuaca semalam memprediksikan hari ini akan turun hujan. Tak disangka Allah Sang Maha Kuasa berkehendak lain. Begitulah, Man purpose but God dispose. Pagi ini kuawali dengan Shalat Subuh. Seperti yang kubaca dalam buku La Tahzan, jika kita mengawali hari dengan Shalat Subuh, kita akan senantiasa berada dalam jaminan dan perlindungan Allah. Shalat Subuh merupakan pembuka buku keberhasilan dari sisi penting sebuah kemenangan dan kemuliaan. Shalat Subuh seakan memberiku energi positif untuk siap melakukan segudang kegiatan yang menguras tenaga.
Aku melihat pantulan wajahku lewat cermin besar di kamarku. Tak lupa kusematkan hijab, untuk menutupi rambutku. Tak kutambah sedikitpun sapuan make up di wajahku. Kuraih tas merah muda kesayanganku. Well, I’m ready to leave for school.
Hari ini suasana di kampus terasa berbeda. Kudengar pembicaraan teman-temanku, semua membicarakan hal yang sama. Mereka membicarakan tentang persiapan pesta dansa yang akan digelar dalam rangka memperingati HUT universitas. Dan dalam pesta ini akan dipilih sepasang dancing queen and king. Para wanita sibuk membahas gaun apa yang akan mereka kenakan, make up, aksesoris dan hal remeh temeh lainnya. Sedangkan para pria sibuk menentukan tuxedo seperti apa yang akan mereka pakai. Memang acara ini akan menjadi sedikit formal. Dan aku? Aku sama sekali tak tertarik untuk pergi ke acara itu. Aku kesini hanya untuk belajar. Aku tak ingin menyia-nyiakan amanah pemberi beasiswa yang mempercayakan aku untuk menuntut ilmu di negara adikuasa ini.
Aku meletakkan tasku, dan duduk di kursi paling depan. Kukeluarkan sebuah buku intisari ekonomi. Aku berniat untuk membaca buku itu sekilas, sebelum kuliah dimulai. Tiba-tiba sebuah suara menghampiriku.
“Hey, Shifa. Would you like to come to the party with me?” suara yang amat tak asing di telingaku. Aku mendongakkan kepala. Dan benar saja. That’s Richard. Tunggu! Richard?!
“Richard...? Are you talking with me?”
“Ya, kenapa kau kaget?”
“Tidak, aku cuma... tadi kau bilang apa?
“Well, apa kau mau pergi ke pesta dansa denganku?” Apa aku tidak salah dengar? Seorang Richard mengajakku datang bersamanya ke pesta? Kulihat tak nampak sedikitpun gurauan dari nada bicaranya.
Richard adalah pria terpopuler di kampus dan dia menjadi idola banyak teman-temanku. Dia sangat tampan, pintar dan kaya. Dia selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang mengobral auratnya. Juga tak ayal sering sekali bergonta-ganti pacar. Siapa yang dapat menolak pria flamboyan nan karismatik yang satu ini? Sebuah jawaban pasti sudah kupersiakan.
“Maaf Richard, aku tak bisa.”
Richard nampak kaget.
“Are you sure? No one has ever refused to go with me.”
“I’m really sorry. I don’t mean to let you down. But I really can’t.”
“Ok... I got it”
Dia berlalu dengan langkah gontai. Sekilas kulihat gurat kecewa di wajahnya. Alhamdulillah, I did it! Aku berhasil lolos dari godaan ini. Syetan benar-benar cerdik dengan segala tipu dayanya. Ya Allah, aku berlindung dari godaan syetan yang terkutuk. Setelah Richard menghilang, Janet yang duduk di sebelahku menggelengkan kepalanya. “She’s terribly stupid!” gumamnya pelan. Aku hanya tersenyum.

***