Alhamdulillah, hari yang kunantikan tiba. Kepulanganku ke tanah air tercinta. Lina, vita dan yang lainnya sudah terlebih dahulu menginjakkan kaki di nusantara. Tinggal aku. Walaupun kami lulus bersamaan, tapi aku rasa masih ada beberapa hal yang perlu kuurus disini. Namun akhirnya saat ini tiba giliranku untuk kembali bertatap muka dengan seluruh kerabat di Indonesia. Tak lupa aku membawa buah tangan untuk kubagikan kepada kerabat disana.
Dengan mengucap Bismillah, aku berangkat dari Bandara Internasional John F. Kennedy, New York menuju Bandara Soekarno-Hatta. Pikiranku sudah melayang bermil-mil jauhnya ke sebuah rumah sederhana bercat hijau kebiruan. Itulah rumahku. Seperti apa bentuknya sekarang setelah sekian lama kutinggalkan? Aku semakin tak sabar menginjakkan kaki di rumah. Semalam, ibu dan ayah menangis haru saat kukabarkan bahwa esok aku akan pulang. Aku ingin segera bertemu mereka. Memandang wajah lembut nan berhati halus itu. Aku ingin memeluk mereka. Aku ingin tenggelam dalam samudra kasih sayang mereka. Ibu, ayah... aku rindu kalian..
Dari atas langit, aku melihat lukisan Allah yang luar biasa. Pandanganku lurus kebawah menembus jendela kaca. Subhanallah... tak bisa kututupi rasa takjubku melihat kebesaran Allah. Untaian pulau-pulau hijau yang dikelilingi lautan biru sejauh mata memandang. Awan putih bagai kapas menyelimutinya laksana mantel tebal. Maha Suci Dzat yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantaranya.
Setelah beberapa lama melanglang buana di udara, akhirnya aku berhasil menginjakkan kaki di Indonesia dengan mengantongi gelar Master of Economics. Aku bertekat untuk mengamalkan ilmu yang kumiliki demi kemajuan bangsa dan negaraku. Aku langsung melakukan sujud syukur setelah aku menapakkan kakiku di tanah air.
“Shifa...” sebuah suara yang tak asing di telingaku.
“Ibu... Ayah...” aku segera berlari dan menghambur ke pelukan mereka. Tangis haru pun pecah. Tak bisa kupungkiri, merekalah orang yang sangat berarti dalam hidupku. Jasa-jasa mereka tak kan pernah bisa kubalas walaupun dengan gunung emas dan lautan permata. Kutatap wajah mereka. Wajah yang dulu kencang, kini mulai berkeriput. Rambut yang dulu hitam kini mulai memutih. Dan tubuh mereka yang dulu tegap, kini mulai membungkuk. Kutatap mata mereka yang berbinar-binar dan meneteskan air mata bahagia, air mata haru, air mata bangga karena aku telah berhasil menyelesaikan kuliahku di negeri orang dan kembali ke pangkuan mereka dengan selamat.
Ya Allah, hanya satu pintaku...
Untuk melihat mereka selalu tersenyum bahagia...
Tak kuizinkan siapapun menyakiti mereka. Bahkan seekor semutpun.
Jadikan aku anak sholehah yang senantiasa membahagiakan kedua orang tua,
Sampai akhir hayatku.
***
“Nak, tadi ibu menghadiri sebuah pengajian. Dan kau tahu, ada seorang pemuda tampan sekali, dia yang membaca ayat suci Al-Quran. Subhanallah... Suaranya benar-benar merdu. Ibu sampai merinding dibuatnya. Dan hebatnya, setelah ibu tanya, ternyata dia seorang mualaf! Tetapi pengetahuannya tentang Islam sudah sedemikian luasnya.” Celoteh ibu semangat sepulang dari pengajian.
“Oh ya? Ibu naksir sama dia ya? Hehe...” candaku.
“Eh, kamu ini.. menggoda saja. Bukan begitu, ibu dengar dia itu masih lajang. Siapa tahu berjodoh denganmu. Dia itu orang asing, kalau tidak salah dia berasal dari Amerika. Kau kan juga pernah kuliah disana. Tetapi bahasa Indonesianya fasih sekali. Padahal dia bilang baru setahun di Indonesia untuk belajar agama. Dia sangat senang tinggal disini. Tadi ibu sempat berbincang-bincang sedikit dengannya.” Aku tersentuh mendengar penjelasan ibu. Ada hawa dingin yang menyusup ke dalam relung hatiku. Rasa penasaran mendorongku untuk bertanya lebih lanjut pada ibuku.
“Siapa nama pemuda itu bu?”
“Aduh... siapa ya? Dia sudah berganti nama semenjak masuk islam. Kalau tidak salah, namanya Mohammed Yousuf.”
“Sebuah nama yang indah...” pujiku lirih.
“Besok kau harus ikut ibu ke pengajian itu lagi. Ibu ingin mengenalkan kau padanya. Siapa tahu berjodoh. Ibu akan menjadi ibu mertua yang paling bahagia di dunia jika memiliki menantu se-shaleh dia.”
“Jika memang menurut ibu dia yang terbaik, aku akan menuruti kehendak ibu.” Jawabku sambil tersenyum. Aku sangat ingin membahagiakan ibuku.
***
Bismillahirrahmanirrahiim...
Ar Rahmaan.
‘Allamal Qur’aan. Kholaqol insaan. ‘Allamahul bayaan...
Subhanallah... benar-benar indah suaranya. Lirihku dalam hati begitu mendengar lantunan surah Ar-Rahman yang dibacakan pemuda itu. Aku memang belum melihat wajahnya, tapi hanya dengan mendengar suaranya aku merasa bahwa dia adalah seorang muslim yang taat. Ada selaksa harapan yang datang tanpa kuundang. Entah kenapa aku berharap dia benar-benar akan menjadi imamku kelak. Rabbana hablana min azwajina, wa dzuriyyatina qurata a’yun. Aku menundukkan pandanganku. Ayat-ayat suci Al-Qur’an seakan merasuk ke dalam pori-pori jiwaku. Mataku basah. Pemuda itu membaca Al Quran dengan begitu fasihnya. Sulit dipercaya kalau dia adalah seorang mualaf.
Selesai Al-Quran dibacakan aku kembali mendongakkan kepala. Mataku menangkap sosok pemuda yang kini berada di depan mimbar. Seorang pria berambut pirang dan bermata biru mengenakan gamis putih bersih lengkap dengan kopiah. Masya Allah...!
Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kulihat. Apa aku salah lihat? Pemuda itu... Dia... Orang yang pernah mengajakku ke pesta. Orang yang dulu sering bertanya tentang islam kepadaku. Dia... Richard Brandon! Teman sekampusku dulu! Bagaimana mungkin?! Kenapa dia bisa disini?
Seketika itu, keringat dinginku mengalir. Aku benar-benar merasa kecil. Allah menampakkan kekuasaannya padaku yang telah berlaku sombong dan bermuka masam. Richard yang buta sama sekali tentang agama berubah drastis menjadi seorang yang shaleh dan taat seperti itu. Allahu Akbar... Astagfirullahal’adzim... Aku benar-benar bodoh. Apa yang harus kukatakan pada ibu yang telah berharap banyak? Terlebih, apa yang harus kukatakan di hadapan Richard, maksudku.. Yousuf nanti? Mungkin dia tak akan sudi bertemu denganku apalagi bicara padaku karena aku telah mengacuhkannya dulu saat ia bertanya tentang Islam. Tanpa sadar hatiku mengucap sebuah doa,
‘Ya Allah... Engkau adalah Tuhanku. Tiada Tuhan selain Engkau. Aku berlindung dari buruk yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu. Aku mengakui dosaku. Ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.’
Selesai acara, ibu mengajakku bertemu dengannya. Aku ragu untuk menerimanya tapi juga tak sanggup untuk menolak. Aku tak mau membuat ibuku kecewa. Baiklah, kuputuskan untuk berani mengambil resiko. Aku pasrah meski harus mendapat makian darinya. Bismillah...
“Nak Yousuf, kenalkan ini putri ibu yang ibu ceritakan kemarin. Shifa Az-Zahra. Panggil saja Shifa.” Ujar ibu lembut dan polos. Aku menunduk. Tak sedikitpun aku berani menatapnya. Ya Allah... tolong hamba...
“Assalamu’alaikum,” sapanya lembut seraya mengucap salam. Aku ragu untuk menjawab.
“Wa... wa’alaikum..salam...” jawabku gugup. Aku tak berani mendongakkan wajah sedikitpun.
“Sepertinya kita sudah saling kenal sebelumnya.” Ujarnya penuh selidik.
“Mm... Mungkin...” aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala walaupun sebentar.
“Tidak salah lagi. Kaulah orangnya. Kau Shifa yang dulu...”
“Ya, aku. Maafkan aku karena dulu...”potongku.
“Sudahlah, tak usah dipikirkan. Yang terpenting, Alhamdulillah, aku telah menjadi seorang muslim sekarang,” sahutnya ramah. Aku benar-benar bahagia mendengar perkataannya. Semakin bertambah kekagumanku dengan pria dihadapanku ini. Dalam hati aku berdoa agar dia benar-benar jodohku.
“Jadi kalian sudah saling kenal sebelumnya?” tanya ibuku.
“Ya bu. Kami dulu belajar di kampus yang sama. Bahkan dulu saya juga sempat jatuh hati dengannya.” Sahut Yousuf.
“Masha Allah... Kebetulan sekali. Apa ini tanda-tanda berjodoh ya?” sambung ibu riang. Ibu memang terkadang ceplas-ceplos. Hatiku melayang sesaat. Entah kenapa harapan itu makin kuat. Ya Allah... semoga dia memang...
“Tapi maaf bu. Saya sudah punya calon yang akan saya pinang dalam waktu dekat ini.” Ujar Yousuf lagi. Aku tersentak. Begitu juga ibu. Aku seakan dijatuhkan dari atas gedung lantai 100. Tetapi ibu tetap tenang dan dapat menguasai diri.
“Benarkah? Oh, tidak apa-apa, berarti memang belum jodohnya. Kalau boleh tahu siapa gadis yang beruntung itu, nak?” tanya ibu lembut.
“Namanya Lina Maryam Handayani. Dia orang Indonesia juga dan sempat kuliah di New York. Semenjak saya tertarik dengan Islam, saya terus mencari tahu tentang Islam, namun tak ada seorangpun yang membantu saya dan mengajari saya tentang Islam. Kecuali dia. Dan saya kesinipun berkat saran darinya. Saya mengenyam pendidikan di pesantren selama setahun. Karena saya benar-benar ingin mendalami Islam. Dia yang selalu mendukung saya dan diam-diam saya pun menaruh hati padanya. Dia benar-benar wanita shalehah. Rencananya saya akan melamarnya Jum’at ini.” Aku bagaikan disambar petir ketika mendengar penjelasan Richard.
“Lina Maryam Handayani?” tanyaku tak percaya.
“Ya.” Jawabnya singkat.
Allahu Akbar... Lina? Sahabatku? Ini benar-benar sulit dipercaya! Tiba-tiba aku merasa dunia ini menjadi gelap. Karena aku menyepelekan dan bermuka masam di hadapannya, aku benar-benar kehilangan suatu peluang emas untuk berdakwah dan memiliki suami yang shaleh. Astagfirullah... Ya Allah... Ampuni hamba yang lemah ini...
Menyesal. Kata ini memang selalu datang belakangan. Andai saja waktu dapat kuputar kembali... Tapi tak ada gunanya. Aku harus ikhlas menerima kenyataan pahit ini. Aku harus tetap bangkit. Aku yakin Allah Yang Maha Mengetahui telah mempersiapkan seorang imam yang terbaik untukku, Insya Allah... Hanya masalah waktu.
Setidaknya aku dapat memetik hikmah dari pengalamanku ini. Jika engkau pernah melakukan kesalahan, belajarlah dari kesalahan itu, kemudian tinggalkanlah kesalahan itu setelah engkau mengambil pelajaran darinya.
Finished in Depok, November 11th 2010
9.47 pm :)